Friday, July 20, 2012

Cerpen: RODA

Roda…


PAGI itu Aya dibangunkan dengan suara keributan yang ada di luar kamarnya. Memang bukan hal yang langka, Aya mendengar ibunya mulai berteriak – teriak. Karena sudah tidak ngantuk lagi, Aya mulai menjauhkan dirinya dari kasur dan mulai beranjak mengintip kejadian diluar.
“ Bu! Lain kali kalau ada telpon, pelankan sedikit nada bicara Ibu!” Ibu Aya, Atika,  bicara dengan  nada yang sangat keras bahkan terkesan kasar, sedangkan eyang Aya yang seolah menjadi terdakwa kejahatan, hanya bisa duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong.
“ Itu tadi yang menelpon Ibu kepala seksi… saya malu dong kalau Ibu menjawab telpon dengan nada keras begitu…. Saya malu Bu…. Malu!!” Atika memukul dadanya sendiri pertanda kalau dia mulai kesal. Sudah bisa ditebak, pasti eyang baru saja menerima telpon yang penting untuk Atika. Bukan hal yang aneh kalau yang namanya orang tua usia 72 tahun pasti mengalami permasalah dengan yang namanya pendengaran. Waktu eyang menerima telpon pasti dia menanyai si penelpon beberapa kali “ Siapa ini…. Siapa? Siapa?” dan itu dengan nada yang keras. Atika merasa malu saat dia tahu telpon itu dariorang yang penting di kantornya.
Aya melihat ayahnya, Agus, juga tak berkomentar, dia menyibukan dirinya dengan acara TV yang dia tonton. Kalau Atika sudah mulai marah – marah begitu, tak ada satu orang pun yang berani berkomentar, bahkan suaminya. Apalagi semenjak Agus mulai kehilangan pekerjaannya, dia seolah tak pantas disebut suami. Semua kendali ada ditangan Atika, karena apa boleh buat, dialah sekarang yang bekerja seorang diri untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari, sekolah dan menanggung Ibunya.
Aya, remaja yang beranjak masuk bangku kuliah ini pastilah mulai timbul pemikiran kritis dalam dirinya saat dia melihat kejadian tersebut.
“ Sudahlah Bu, toh nanti kalau Ibu sudah tua juga kayak Eyang” Aya bicara dengan nada cuek sambil meneguk air putih.
“ Eh…! Bocah kurang ajar ya kamu itu sama orang tua!!! Ya belum tentu! Eyang bisa kaya gitu, karena dia tak memikirkan apapun, jadi otak tidak terasah! Kalau Ibu kan beda, otak Ibu terasah buat mikirin kebutuhan tiap hari sama kerja di kantor!”
Aya tersedak saat mendengar perkataan Ibunya tersebut. Dia tak berani menjawab ibunya lagi, karena dia takut nanti Ibunya mengatakan hal lain yang menyakiti hati eyang. Aya miris melihat mata Eyang yang nyaris berkaca –kaca. Dalam hati dia berpikir, Ibunya bilang dia kurang ajar sama orang tua, memang yang dilakukan ibunya itu juga tidak bisa disebut kurang ajar?
Tak lama kemudian Bagas, adik Aya kelas VII SMP, mulai bangun dengan tergesa – gesa. Bagaimana tidak,  jam sudah menunjukan pukul 06.10.
“ Ibu… ini sarapannya apa?” Bagas mulai merengek
“ Itu lho kamu lihat sendiri di meja makan! Buka tutup makanannya! Ibu tu lagi buru – buru!” Tak sempat berkomentar lebih panjang lagi, Atika sudah siap untuk berangkat. “ Aku berangkat dulu”. Tak ada yang menjawab pamitannya itu, karena tak jelas siapa yang dia pamiti. Tak lama setelah itu yang terdengar hanya laju mobil Atika yang mulai pergi. Suasana sepi dan dingin. Bagas beranjak mandi dan Agus mulai bersiap – siap untuk mengantarkan Bagas. Eyang yang terlihat suntuk mulai mencari suasana segar di teras depan. Eyang mengambil kursi plastik untuk dibawa ke luar dan Koran untuk dibaca – baca. Aya menyusul keluar teras. Dia pura – pura mencabuti daun – daun bunga anggrek yang mulai mengering, sebenarnya dia cuma ingin menemani Eyang.
“ Kok tukang sayurnya belum lewat ya Ndug?” Eyang mencoba memulai pembicaraan.
“ Kesiangan mungkin Yang, mau masak apa sih?”
“ Ya nggak tahu, tergantung nanti yu Welas jualnya apa….” Eyang mulai beranjak dari kursi plastiknya “ eh…. Itu yu Welas datang” Eyang sedikit terhibur dengan kedatangan yu Welas, dia seperti bertemu teman akrabnya.
Sekarang Aya mulai duduk di kursi plastik yang tadi diduduki eyang. Dia mengamati apa yang terjadi di sekitarnya. Walau sering dia kesal dengan eyang yang sama bawelnya dengan Atika, tapi tak jarang juga Aya merasa kasihan dengan Eyang. Dulu saat Aya masih duduk di bangku SMP, Atika sering menghabiskan waktu dengan Aya dan Bagas. Saat itu posisi Atika hanya sebagai staf kantor dan Agus masih bekerja sebagai akuntan. Atika saat itu sering bercerita kalau dia patuh sekali dengan Eyang, karena eyang disiplin, tegas dan galak. Hampir tiap hari Atika dimarahi eyang, karena Atika anak tertua. Saat itu eyang mendidik Atika supaya menjadi wanita sukses, mandiri, tidak bergantung pada pria, serta selalu tegas dan disiplin pada siapapun. Sekarang Atika menjadi wanita seperti apa yang eyang inginkan. Hal yang serupa sekarang dilakukan Atika kepada Aya bahkan juga Bagas.
“ Gimana to yu….yu…..! sawi layu kaya gini kok dijual? Sampeyan itu niat jualan nggak to?” Nada suara eyang yang sama kerasnya dengan nada suara Atika tadi pagi itu membuyarkan lamunan Aya. Aya mulai berdiri melihat situasi dimana eyang sedang protes dengan nada marah – marah sama yu Welas. Untung itu yu Welas, jadi udah biasa dimarahi eyang, coba kalau itu orang lain, pasti eyang sudah balik dimarahin juga. Tak lama Aya mulai berpikir lagi, “kenapa Ibu punya watak keras seperti itu?.. Melihat eyang yang berwatak keras, juga tak jauh beda dengan ibu. Apa salah kalau ibu memang pada akhirnya punya watak keras begitu?” Lalu Aya ingat peribahasa “buah jatuh tak jauh dari pohonya”.
*****
4 tahun setelah lulus menjalani Studinya dari ilmu komunikasi, tahun berikutnya Aya mendapat pekerjaan sebagai praktisi Public Relation di salah satu perusahaan internasional di Indonesia. Tak jarang dia berkunjung keluar negeri untuk sebuah event di perusahaanya. Aya sekarang bahkan bisa membiayai sekolah Bagas dan membeli rumah untuk dirinya sendiri. Setelah 3 tahun menetap di Swiss, Aya pulang ke Indonesia. Terakhir kali dia mampir ke Indonesia adalah untuk menghadiri acara pemakaman eyang. Disana Atika menangis tanpa henti, dan Aya melihat Agus menggandeng istri barunya. Aya hanya bisa dua hari di Indonesia, setelah itu dia kembali ke Swiss karena dia tak mendapat ijin yang cukup lama dari perusahaan.
Di usia 28 tahunnya ini, Aya pergi kemana pun sendiri. Dia belum ingin mengikatkan hidupnya dalam pernikahan sebelum dia mencapai puncak sukses. Hari ini dia pulang karena dia alarm di HPnya kemarin mengingatkan hari ulang tahun ibunya. Dia janji pulang. Aya sudah menyiapkan kado yang cukup besak untuk ibunya. Bagas yang sekarang kuliah di ITB belum bisa pulang karena ada ujian. Setiba di Indonesia Aya beristirahat dirumahnya sendiri. Rencananya siang ini dia langsung ingin menemui ibunya, tapi karena badannya capek sekali, waktu siang ini dia gunakan untuk tidur sejenak. Setelah pulas tidur selama 4 jam, dia bangun untuk mandi dan menghias kado untuk Ibunya dan diletakannya dalam bagasi mobil. Saat dia beranjak untuk mengunci pintu rumah, ponselnya berbunyi dan ternyata itu telpon dari marketing perusahaan.
“ Aya, malam ini kamu harus sampai di Jakarta, ada kendala event disini..” suaranya nampak panik.
“ Tapi Pak saya….”
“ Kamu harus datang kesini on time, soalnya ini event penting untuk perusahaan” Tak sempat Aya menjawab telpon dimatikan.
*****
Seorang wanita tua sore ini sedang menunggu kedatangan anaknya untuk merayakan ulangtahunnya di usia 63 tahun. Pendengarannya masih sangat baik, seperti apa yang diperkirakannya saat masih muda dulu, tapi dia tak bisa berbicara lancar lagi karena terkena serangan stroke. Putrinya berjanji hari ini mau datang untuk menjenguknya. Dia sangat rindu.
“ Bu Atika, mandi dulu, air hangatnya sudah saya siapkan” kata seorang wanita muda berbaju putih rapi.
“ Ke…ke…napa uda khau siapk….aaan? Akhhu ingin anak..ku.. me…me….nyiapkannya u..u…untuk…ku, sheka…rang bi….arkaa….n a…khu me..nuu..nggu..nya!” Nada bicaranya terdengar agak marah.
Tak lama kemudian teman wanita dengan baju yang sama masuk ke ruangan Atika.
“ Ibu… ini ada paket untuk Ibu”
“da…da…riii…?”
“ em…. Sebentar…. “ wanita itu melihat amplop kecil berwarna hijau muda “ dari Dewi Ayushita”
Seketika mata Atika meneteskan air mata Karena tahu putrinya tak bisa datang dan hanya bisa mengirim sebuah bingkisan.





Dear Mom,
Maaf Bu, sebenarnya hari ini aku sudah sampai di Indonesia. Tapi saat aku mau berangkat ke Panti, aku mendapat telpon yang mengharuskan datang ke Jakarta malam ini. Maaf. Baik – baik dipanti jompo, aku akan mengirim uang lebih banyak, supaya pengurus disana bersikap baik terhadap ibu. Aku akan menjadi sesukses Ibu.
Doakan aku selalu
-Aya-
Atika semakin menangis saat kado dari Atika dibawa kedalam kamar. Kado itu menunjukan kalau sekarang Atika sudah tua dan tak bisa apa – apa.
“Wah kursi roda model terbaru, kualitas yang sangat bagus…. Bagus sekali” kata salah seorang wanita yang ada diruangan itu.


No comments:

Post a Comment